Rabu, 19 September 2012

New War in Business


Business War : Taman Kematian bagi Bad Management Skills















     Padang kurusetra bernama perang bisnis itu selalu saja meninggalkan duka bagi mereka yang terluka. Microsoft sudah lama mengalami stagnasi. Dell kini limbung setengah kolaps. Produsen printer raksasa Hewlett Packard seperti prajurit pikun yang bingung mau kemana. Nokia terpanah penuh luka. Dan Sony terus saja mengalami pendarahan. Kalimat yang biasanya segera bergema adalah ini : mereka semua tertatih-tatih dalam padang peperangan lantaran gagal melakukan inovasi, right? Wrong. Sejarah panjang tentang laga kompetisi bisnis dengan jelas menunjukkan bahwa ini bukan soal kegagalan inovasi. Ini juga bukan soal lemahnya R&D, lemahnya kreativitas, atau product development yang abal-abal. Bukan.      Itu semua adalah soal kegagalan manajerial. Soal buruknya management capabilities. Soal management skills yang sekarat. Apakah orang Apple lebih pintar dan kreatif dibanding orang Microsoft? Tidak. Dan apakah orang Sony lebih bodoh dibanding orang Samsung? Sama sekali tidak. Again : disini bukan soal creative or not, soal smart or not. Tulisan pagi ini mau membedah soal itu : sepotong kisah tentang raksasa yang terluka lantaran kegagalan manajerial.
     Disini mungkin kita bisa menengok sejarah tentang betapa sebuah perusahaan amat hebat dalam soal riset dan kepandaian teknikal, namun tetap saja menjadi medioker (kinerjanya pas-pasan). Disini kita layak mengenang legenda Xerox dengan Palo Alto Research Center-nya (PARC) pada tahun 70-an. Jika Anda sekarang happy dengan icon-icon yang menghiasi layar laptop Anda, merekalah yang menemukannya. Begitu juga dengan mouse yang sekarang Anda pakai.
     (Teknologi icon yang dibikin PARC langsung membuat Steve Jobs saat itu tertegun, lalu “mencuri” serta menjiplaknya untuk Apple. Ketika dikecam, dengan tenang Jobs berkilah, sambil mengutip kalimat Pablo Picasso : good artists copy, great artist steal. Hoho. Jadi amat ironis kalau sekarang Apple menggugat Samsung dengan tuduhan mencuri. Sebab Apple dulu juga pencuri paling ulung). Btw, yang mau dikatakan disini adalah : Xerox sama sekali tidak pernah menjadi perusahaan gadget dan komputer yang hebat, meski mereka punya periset-periset dashyat. Kenapa? Karena top manajemen Xerox tidak punya visi yang jernih, dan kapabilitas untuk mendayagunakan temuan itu untuk menjadi great products.
     IBM di tahun 90-an punya kisah yang sama. Mereka saat itu punya portofolio paten paling top. Tapi kinerja bisnisnya semaput sebelum diselamatkan CEO hebat bernama Lou Gertsner : dengan kepiawaian manajerialnya, ia membuat IBM can dance again (Lou kemudian menulis buku bagus berjudul Who Says Elephant Can Dance : Inside IBM’s Historic Turn-around).
     Sekarang kita menyaksikan kisah itu berulang pada Microsoft, Hewlett Packard (HP), Dell dan Sony. Ini semua perusahaan dengan engineer dan programmer kelas wahid plus pusat riset yang dahsyat. Namun semua limbung lantaran kegagalan top leaders-nya dalam mendemonstrasikan kecakapan manajerial yang menjulang (visioning, resource allocation, taking risk, dan strategic decision making).
     Ada dua pelajaran penting yang bisa diserap disini. Pertama, management capabilities, terutama dari top management level (or board of directors) selalu menjadi penentu kemajuan/kemunduran perusahaan. Beragam kasus dan sejarah tentang bangkit dan jatuhnya perusahaan-perusahaan raksasa menunjukkan betapa krusialnya peran CEO and BOD (board of directors) dalam memetakan laju bisnis. Jadi kalau ada yang bilang sebuah perusahaan buruk kinerjanya lantaran kinerja karyawan-nya buruk; ini salah. Yang lebih sering bukan karena mutu karyawannya, namun mutu top leadersnya (atau mutu CEO-nya). Tentara benar waktu bilang : tak ada prajurit yang salah, yang salah adalah komandannya.
     Pelajaran kedua : bad succession planning. Majalah bisnis Fortune menyebut masalah succession planning (atau pergantian CEO dan level Direksi) merupakan problem besar bagi banyak perusahaan raksasa. Dan harus dikatakan : perusahaan seperti Microsoft, Sony, Hewlett Packard amat buruk dalam soal ini (HP bahkan harus mengganti CEO-nya empat kali hanya dalam waktu lima tahun).
Hanya tantangannya : menemukan top leader dahsyat seperti Steve Jobs, Bill Gates atau Robby Djohan, Teddy Rachmat (mantan CEO Astra) dan Cacuk Sudariyanto (mantan CEO Telkom yang legendaris) bukanlah hal yang mudah. Karena itu, untuk memastikan regenerasi top leaders yang handal, good succesion planning process mesti segera dijalankan dengan seksama.
     Sebab management capabilities dari top leaders-lah yang akan menjadi penentu paling krusial bagi lestarinya kejayaan sebuah bisnis. Padang kurusetra, tempat perang bisnis digelar, selalu akan ada disana. Tanpa managerial capabilities yang andal, sebuah perusahaan bisa terkoyak dan pelan-pelan gugur : menyisakan bau asap kemenyan yang amat memilukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut